-->

Selamat Datang di Website Resmi Pesantren Al-Urwatul Wutsqo Indramayu

Kopiah, identitas Santri?

Zaman sekarang sebuah kemasan, merek, bahasa pesantrennya bentuk dhahir, dianggap jauh lebih penting ketimbang sebuah isi. Perkembangan zaman telah berhasil menanamkan kemasan menjadi sesutau yang penting, mengabaikan kwalitas.
Dalam Ta'lim al-Muta'alim, buah pena Syeikh Zarnuji yang menurut sebagian kalangan sudah tidak relevan, ada penekakan untuk selalu memakai tutup kepala dalam setiap aktifitas. Kemudian oleh pesantren hal itu tidak diterjemahkan dalam bentuk serban atau tutup kepala lainnya, tetapi diwujudkan dalam bentuk kopiah.

Dalam pandangan mereka, memakai kopiah merupakan bentuk kewiraian atau kezuhudan seseorang, paling tidak sebagai bentuk kelaziman. Oleh karenanya, seorang santri tidak diperbolehkan melepas peci dalam kesehariannya. Santri yang berani menanggalkan kopiah diidentikkan dengan santri badung yang sering melangar tatakrama dan aturan.
Tradisi ini menjalar ke masyarakat, dengan berkopiah seseorang dianggap memiliki nilai plus, kurang utama bila menanggalkan kopiah saat menunaikan shalat, dan lain sebagainya, termasuk ketika sekarang banyak orang mencari simpati untuk meraih suara.

Namun ironis, akibat penekanannya atas bentuk lahir, pemahaman akan tradisi pesantrenpun menjadi keliru. Banyak masyarakat memakan mentah-mentah tradisi ini, contoh kecil ketika mereka salah kaprah memakai kopiah dalam shalat, terbukti masih banyak yang malah menutup bagian yang mestinya terbuka waktu melakukan sujud, tidak sedikit yang keliru memakai kopiah.

Tutup kepala yang terbuat dari beludru warna gelap dengan ketinggian antara 6-12 cm ini, ada yang mengatakan, bila dipandang dari segi bentuk merupakan modifikasi antara torbus Turki dengan peci India. Ada pula yang menyatakan bahwa kopiah memang asli kreasi nusantara. Penutup kepala, entah apakah bentuknya sama seperti kopiah-kopiah Indonesia sekarang, memang telah ada sejak dulu kala.

Yang jelas, menurut sejarah pada awal pergerakan Nasional 1908-an, kebanyakan para aktivis masih memakai daster dan tutup kepala blangkon, yang lebih dekat ke tradisi priyayi dan aristokrat. Seiring meluasnya gerakan sama rata sama rasa dan penolakan terhadap feodalisme -paham dan pola sikap yang mengagung-agungkan pangkat dan jabatan tanpa mengagungkan prestasi kerjanya- termasuk dalam berpakaian dan berbahasa, tokoh idola panutan kaum pergerakan waktu itu, Tjokroaminoto yang sering berkopiah, dengan sendirinya kopiah menjalar di kalangan aktifis, termasuk muridnya, Soekarno.

Sejak saat itu kopiah yang semula merupakan tradisi pesantren dijadikan sebagai songkok nasional, identitas ke Indonesiaan, yang dipelopori kaum pergerakan. Ada yang bilang, berkat pesona seorang Soekarno, para aktivis dan priyayi waktu itu mulai menggunakan kopiah. Di samping menjadi simbol Islamisme, kopiah waktu itu juga sebagai simbol patriotisme dan nasionalisme, yang mampu membedakan mana priyayi pro rakyat dan priyayi kolaborator Belanda.

Pada Muktamar NU ke 10 di Banjarmasin, saat Nahdlatul Ulama (NU) mulai sangat aktif melibatkan diri untuk merespon perkembangan dunia luar, baik nasional maupun internasional. NU mengakui Nasioalisme Hindia Belanda dan mulai memperbolehkan warganya memakai pantaloon (celana panjang), namun identitas kesantrian harus tetap terlihat. Salah satu bentuknya adalah memakai kopiah, sehingga masih bisa dibedakan dengan kolonial Belanda.

Namun kini, kopiah bukan hanya identifikasi bagi seorang muslim, pembeda dengan penjajah, patriotisme, ataupun simbol nasionalisme. Lihat saja upacara–upacara pelantikan pejabat Negara, meskipun dia bukan seorang muslim, tidak sedikit yang memakai penutup berbahan beludru ini. Sering pula kita saksikan, bahkan kebanyakan, para perusak Negara memakai kopiah ketika tersudut di depan meja hijau. Berubah fungsikah?

Permasalahan kopiah seperti di atas mestinya ‘menghina’ kecerdasan kita sebagai muslim, khususnya kalangan pesantren. Bagaimana mungkin cuma dengan modal kopiah, orang sudah dipercaya ‘pindah agama’. Segampang itukah? Bagaimana bisa ketaatan beragama hanya muncul sebagai penutup kepala, sebuah keputusan yang perlu dipertanyakan.

Tapi, mari kita hargai keputusan ini, sebab kita memang masyarakat yang gampang ditipu. Apalagi bila tipuan itu memuat unsur-unsur yang kita suka, simbol dan atribut, kopiah misalnya.

Begitu besar minat kita pada atribut, keindahan kemasan, hingga mendorong orang dengan mudahnya merubah kepribadian. Jika ia telah berdandan sedemikian rupa, merasa telah menjadi orang bertakwa. Untuk menjadi seorang nasionalis, kita cukup hanya dengan mengganti nama saja dan kalau mau jadi seniman, orang cukup bermodal memanjangkan rambut dan mengacak-acak dandanan.

Begitulah, zaman telah begini maju, tapi kita masih dengan mudahnya tertipu dengan ‘merek’. Bila kita tidak segera berbenah, jangan heran bila ke depan makin banyak kita temui para penipu.

Untuk mewaspadai hal itu, mulai sekarang kita harus menekan ambisi yang kelewatan atas sebuah simbol dan atribut. Perlu juga ada semacan ‘penelaahan kembali’ oleh setiap muslim. Bagi kalangan pesantren, tentu penelaahan tentang perkopiahan juga perlu ada penekanan, karena ketika imej sebuah kopiah telah tercoreng, secara tidak langsung pesantrenpun terkena imbasnya. Dengan itu, semoga saja penipu-penipu handal sekarang adalah generasi terakhir mereka. Semoga.
Baca selengkapnya ... Pesantren Al-Urwatul Wutsqo Indramayu: Mei 2011

Handphone: Pesantren dan Dilema Modernitas

Nurcholis Madjid, salah satu cendekiawan besar muslim Indonesia membagi pesantren (dalam karyanya Bilik-bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta:Paramadina, 1997), terkait dengan respon jagat pesantren terhadap tantangan dan arus jaman, ke dalam empat jenis. Pesantren jenis pertama adalah pesantren modern yang penuh ghirah membenahi pesantren dengan sistem yang kompatibel dengan semangat modernitas. Pesantren kedua, pesantren yang melek kemajuan jaman sekaligus tetap mempertahankan nilai-nilai yang positif dari tradisi. Pesantren ketiga adalah pesantren yang juga memahami aspek positif modernitas namun tetap memilih menjadi jangkar bagi persemaian semangat tradisionalisme. Sedangkan pesantren jenis keempat adalah pesantren yang bersikap antagonis terhadap gegap gempita modernisasi. Saat ini, jenis yang terbanyak adalah pesantren ragam kedua. Karena prinsip yang umum dianut oleh dunia pesantren adalah konsep qaidah fiqh yang berbunyi : al-muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah, melestarikan tradisi yang masih baik sekaligus mengadopsi hal-hal baru yang jauh lebih baik. Adapun pesantren dengan tipe terakhir, dalam perkiraan penulis, jarang ditemukan atau bahkan sudah tidak ada lagi di saat ini.
Klasifikasi Cak Nur terhadap jenis pesantren tersebut cukup membantu kita melihat peta keseluruhan respon dunia pesantren terhadap modernitas. Namun saat ini, tantangan dunia pesantren yang sesungguhnya jauh lebih kongkrit. Klasifikasi di atas terlalu sederhana untuk menjawab tantangan bagi permasalahan yang harus dihadapi dunia pesantren. Modernitas yang mengusung nilai-nilai budaya baru melalui kecanggihan tehnologi dan alat komunikasi, telah menelusup jauh masuk ke seluruh lini kehidupan masyarakat, tak terkecuali dunia pesantren.
Pesantren yang menganut asas kesederhanaan, lambat-laun mulai direpotkan oleh fenomena "sensitif tehnologi" di tengah-tengah masyarakat yang menjalar ke dunia pesantren. Salah satu budaya baru yang potensial menghadirkan ancaman adalah arus komunikasi yang serba mudah dengan kehadiran telepon genggam (handphone/telepon seluler). Demam handphone (HP) merupakan salah satu dari bentuk "sensitif tehnologi" yang mewabah di masyarakat terutama para muda. Ruang-ruang interaksi remaja kita saat ini dominan oleh perbincangan mengenai tetek-bengek HP. Para santri pesantren yang mayoritas remaja akan sulit dibendung dari filtrasi "virus sensitif tehnologi" semacam demam HP ini.
Tanpa mengesampingkan kegunaan positif dari alat komunikasi semacam HP, potensi negatif alat tersebut akan sangat kasat mata di tangan para remaja dan santri. Lebih-lebih di tengah maraknya peredaran video-video compress mesum yang dengan mudah disimpan dan dipertontonkan melalui HP. Ancamannya tidak main-main bagi dunia pesantren: badai kemerosotan moralitas yang luar biasa.
Situasi yang serba terbuka saat ini akan menyulitkan para pengasuh pesantren untuk mengambil langkah-langkah preventif (pencegahan) yang efektif sekalipun. Potensi merusak dari tehnologi komunikasi semacam HP, lambat tapi pasti, akan menemukan momentumnya untuk menghantam telak nilai-nilai tradisi pesantren. Selama ini dampak tehnologi yang mempertontonkan adegan-adegan mesum relatif dapat dilokalisir, namun kehadiran HP mengakibatkan tayangan-tayangan pornografi dan pornoaksi dapat dengan mudah menyusup ke ruang-ruang privat tanpa dapat dikontrol lagi. Pemerintah yang seharusnya dapat berperan membendung akses-akses utama pornografi dan pornoaksi, jauh dari harapan yang dapat digantungkan oleh dunia pesantren.
Dengan demikian, pesantren tidak boleh termangu untuk mengatasi bahaya laten tehnologi informatika. Pesantren harus proaktif memikirkan dan mengambil langkah-langkah nyata untuk mengendalikan dampak kehadiran alat tehnologi semacam HP tersebut. Salah satu langkah nyata yang dapat diambil adalah terus menumbuhkembangkan sikap kedewasaan dan tanggungjawab para santri. Cara mengucilkan para santri dari dunia tehnologi justru akan menjadikan para santri pribadi-pribadi yang gugup dan gagap terhadap perkembangan jaman dan pada gilirannya hanya akan mengantar mereka menjadi pemuja-pemuja tehnologi tanpa bekal pengetahuan yang memadai mengenai aspek negatifnya. Para orang tua juga tidak dapat tinggal diam. Mereka harus turut aktif dan berupaya dengan keras untuk mengontrol perilaku generasi-generasi penerusnya. Sinergi semua pihak akan sangat membantu dalam menghadapi efek-efek negatif modernisasi.
Baca selengkapnya ... Pesantren Al-Urwatul Wutsqo Indramayu: Mei 2011

Instruksi Mendiknas Tangkal Radikalisasi Kampus Dinilai Berlebihan

REPUBLIKA.CO.ID, GORONTALO - Sosiolog dari Universitas Negeri Gorontalo , Funco Tanipu, Jumat (6/5), menilai instruksi Mendiknas Mohammad Nuh, untuk menangkal radikalisasi kampus terlalu berlebihan. Hal itu dikemukakannya, menanggapi salah satu hasil kesimpulan dalam pertemuan rektor perguruan tinggi negeri se-Indonesia dengan Mendiknas di Jakarta, Rabu (4/5) malam."Saya khawatir, instruksi ini hanya akan menjadi jalan kembali ke masa orde baru, ketika setiap aktivitas mahasiswa dipantau oleh alat negara," kata dia.

Menurutnya, Negara Islam Indonesia (NII) dan potensi gerakan radikal yang selama ini turut digaungkan di media massa, bisa jadi merupakan dalih atau semacam prakondisi menuju sesuatu yang bersifat konspiratif. Dalam pengamatannya, radikalisme di kalangan intelektual, dalam hal ini mahasiswa, juga merupakan bentuk protes terhadap negara, yang masih banyak melalaikan hak-hak warga negaranya.

NII misalnya, merupakan salah satu bentuknya, ketika ada segelintir orang yang mendirikan negara imajiner sebagai bentuk protes terhadap negara riil. "Instruksi Mendiknas akan memicu kesewenang-wenangan aparat negara terhadap lingkungan kampus yang memiliki kebebasan akademik," kata dia.

Sebagaimana yang dikutip dari www.kemdiknas.go.id, disebutkan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, menggelar pertemuan dengan rektor-rektor Perguruan Tingi Negeri (PTN) se-Indonesia pada Rabu (04/05) malam, di Gedung Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta. Pertemuan yang bersifat rutin itu agak berbeda pembahasannya yakni mengenai pemikiran radikalisme ke lingkungan kampus.

Dalam pertemuan itu, diambil langkah-langkah konkret untuk mencegah dan mengawasi masuknya pemikiran radikal ke lingkungan kampus ,yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk instruksi menteri. Meskipun pertemuan ini hanya dihadiri rektor-rektor perguruan tinggi negeri, Mendiknas telah meminta perguruan tinggi swasta untuk melakukan kajian bersama Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis).
Baca selengkapnya ... Pesantren Al-Urwatul Wutsqo Indramayu: Mei 2011

Ajang Kontes Berbahasa Inggris 'Erlangga English Speech 2011' Kembali Digelar

Penguasaan bahasa Inggris pada saat ini sangat diperlukan untuk menunjang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kini banyak sekolah yang menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk proses belajar mengajar di kelas. Kegiatan ini diharapkan dapat melatih anak muda di Indonesia agar mampu lebih berani mengeluarkan ide/gagasan lebih berani dan baik lagi.Untuk itu, Erlangga sebagai penerbit yang peduli terhadap perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan, dimana bentuk kepedulian tersebut tidak hanya dengan menerbitkan buku-buku yang berkualitas akan tetapi, ikut serta melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung kemajuan pendidikan Indonesia. Salah satu kegiatan yang akan dilaksanakan kembali adalah Erlangga English Speech Contest 2011, yang ditujukan bagi para siswa/siswi SMP/MTs dan SMA/MA/SMK.

Tema kegiatan ini adalah "Dare to Speak" yang mencerminkan keberanian peserta lomba untuk menyuarakan gagasan, aspirasi, keinginan, serta cita-citanya.

Persyaratan peserta:

-Peserta adalah siswa/siswi aktif di sekolah masing-masing.
-Peserta mengisi formulir dan mengembalikannya ke panitia.
-Peserta dapat mendownload formulir pendaftaran di website www.erlangga.co.id
-Peserta bersedia mengikuti babak penyisihan di kantor cabang Penerbit Erlangga (kepastian tempat dan tanggal dapat di akses di www.erlangga.co.id).
-Peserta tidak dikenakan biaya apapun.
-Pendaftaran terakhir 22 Mei 2011.
-Keputusan juri tidak dapat di ganggu gugat.
-Penjurian akan dilaksanakan terpisah antara jenjang SMP dan SMA.
-Kota pelaksanaan jenjang SMP: Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan.
-Kota pelaksanaan jenjang SMA: Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Palembang, Yogyakarta, Makassar, Semarang, Pekanbaru, Samarinda.

Tema Jenjang SMP:
1. What should the government do to stimulate students to read more books?
2. How should we promote our Indonesian cultural heritage to the international world?
3. What is your opinion about the importance of reading books?
4. What should you do to develop your talent?
5. What do you want to be in the future?

Tema Jenjang SMA:
1. What can you do to be a young entrepreneur?
2. What can we do to control the piracy problem in Indonesia?
3. What should the government do to stimulate students to read more books?
4. How does technology improve our ways in learning English?
5. How should we promote our Indonesian cultural heritage to the international world?


Hadiah:
Juara 1 Rp 5.000.000 + Dana Pembinaan Sekolah
Juara 2 Rp 4.000.000 + Dana Pembinaan Sekolah
Juara 3 Rp 3.000.000 + Dana Pembinaan Sekolah

Penyisihan: Mei 2011 di kantor Penerbit Erlangga
Grand Final: Juni 2011 di Jakarta

Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
Departemen Marketing Nasional
Penerbit Erlangga
(021) 8717006 ext. 228
atau kunjungi: www.erlangga.co.id

Alamat pengiriman:
CABANG JAKARTA: Jl. H. Baping Raya No. 100 Ciracas Jakarta 13740 Telp. (021) 8717006 ext. 229
CABANG BANDUNG: Jl. Soekarno Hatta No. 554 Bandung 40286 Telp. (022) 7500893
CABANG PALEMBANG: Jl. Demang Lebar Daun No. 269 Rt. 43 Rw. 11 Kel. Demang Lebar Daun Kec. Ilir Barat I Palembang 30137 Telp. (0711) 444463, 443368
CABANG MAKASSAR: Jl. Hertasning Raya No. 50 Makassar Telp. (0411) 883933
CABANG YOGYAKARTA: Jl. Gedong Kuning 132 Kotagede Yogyakarta 55171 Telp. (0274) 4436666
CABANG SEMARANG: Jl. Puspowarno Tengah No.38-40 Semarang Jawa Tengah 50143 Telp. (024) 7609432, 7609475, 7604394
CABANG MEDAN: Jl. Sisingamangaraja Km 10.5 No.5 (depan POLDASU) Medan Telp. (061) 7853885
CABANG PEKANBARU: Jl. Soekarno Hatta No. 98 Arengka Pekanbaru 28291 Telp. (0761) 571633, 571533
CABANG SAMARINDA: Jl. Bung Tomo No. 134 Kel. Sei Keledang Kec. Samarinda Seberang Telp. (0541) 261330
CABANG SURABAYA: Jl. Berbek Industri VII/15, Waru-Sidoarjo (Komp. SIER Surabaya) Telp. (031) 8687910-12
Baca selengkapnya ... Pesantren Al-Urwatul Wutsqo Indramayu: Mei 2011

Ujian Nasional Munculkan Budaya tidak Jujur

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Anggota Komisi X DPR RI bidang Pendidikan Puti Guntur Soekarno menyatakan, penyelenggaraan Ujian Nasional hanya mendatangkan masalah baru seperti perilaku dan budaya ketidakjujuran di berbagai wilayah pendidikan. "Karenanya amat disayangkan karena penyelenggaraan UN (Ujian Nasional) itu justru menambah daftar persoalan yang tidak substantif terkait upaya peningkatan mutu pendidikan," ujar cucu Proklamator Kemerdekaan RI Bung Karno itu di Jakarta, Rabu.Menurut dia, berdasar pantauan banyak anggota Dewan serta dari laporan berbagai pihak, UN justru mendatangkan masalah baru. "Yakni perilaku dan budaya ketidakjujuran yang menebar di mana-mana, seperti tampak dalam pelaksanaan UN tahun ini," katanya.

Ia lalu menunjuk kecurangan seperti mencontek yang banyak terjadi dan dalam beberapa kasus bahkan praktik ini sering dibantu oleh pihak pengawas ujian. "Budaya ketidakjujuran ini justru berbahaya bagi generasi ke depan," tegasnya.

Karenanya, ia menyarankan UN ditinjau ulang. "Sebab, hakikatnya pendidikan untuk mebangun karakter manusia yang unggul yang beradab dan maju," ujar Puti Guntur Soekarno.
Baca selengkapnya ... Pesantren Al-Urwatul Wutsqo Indramayu: Mei 2011

Kerendahan Hati Sang Kepala Negara

Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas

Beberapa kali Abdurrahman bin Auf menyaksikan Umar shalat sunah di rumahnya. Yang menarik perhatiannya, bukanlah tata cara shalatnya, melainkan sajadah yang biasa digunakan Umar. Seorang kepala kegara dengan wilayah kekuasaan yang membentang luas sampai Mesir, berhasil mengalahkan dua imperium besar, Romawi Timur dan Persia, justru shalat di atas sajadah yang usang.Timbul rasa bersalah dalam hati Abdurrahman. Ia ingin membelikan sajadah baru yang mahal dan indah untuk sang Amirul Mukminin.

Tetapi, Abdurrahman ragu, apakah Umar mau menerimanya. Dia tahu persis watak Umar yang tidak mau diberi hadiah apa pun walau hanya selembar sajadah.

Abdurrahman akhirnya memberikan sebuah sajadah melalui istri Umar, Ummu Abdillah. Melihat sajadah baru, Umar memanggil istrinya dan menanyakan siapa yang memberi sajadah ini. "Abdurrahman bin Auf," jawab istrinya. "Kembalikan sajadah ini kepada Abdurrahman. Saya sudah cukup puas dengan sajadah yang saya miliki." Begitulah watak Umar bin Khattab. Tidak hanya adil dan bijaksana, beliau dikenal dengan sifat zuhudnya, hidup sederhana. Tidak hanya untuk ukuran seorang kepala negara, bahkan bagi orang biasa sekalipun.

Suatu hari, Umar melakukan perjalanan dinas mengunjungi satu provinsi yang berada di bawah kekuasaannya. Gubernur menjamu Umar makan malam dengan jamuan yang istimewa, sebagaimana lazimnya perjamuan untuk kepala negara. Begitu duduk di depan meja hidangan, Umar kemudian bertanya kepada sang gubernur, "Apakah hidangan ini adalah makanan yang biasa dinikmati oleh seluruh rakyatmu?"

Dengan gugup, sang gubernur menjawab, "Tentu tidak, wahai Amirul Mukmini. Ini adalah hidangan istimewa untuk menghormati baginda." Umar lantas berdiri dan bersuara keras, "Demi Allah, saya ingin menjadi orang terakhir yang menikmatinya. Setelah seluruh rakyat dapat menikmati hidangan seperti ini, baru saya akan memakannya." Itulah sifat Umar bin Khattab, seorang kepala negara yang zuhud.

Di lain kesempatan, sehabis shalat Zhuhur, Umar meminta selembar permadani Persia yang indah untuk dibawa pulang ke rumahnya. Tentu saja, hal ini membuat para sahabat heran. Hari itu, Umar bin Khattab membagi harta rampasan perang yang dibawa oleh pasukan Sa'ad bin Abi Waqqash yang berhasil menaklukkan Kota Madain, ibu kota imperium Persia.

Pakaian kebesaran Kisra lengkap dengan mahkotanya diberikan oleh Umar kepada seorang Badui yang kemudian memakainya dengan gembira. Satu demi satu barang-barang berharga dibagi-bagikan oleh Umar kepada para sahabat dan masyarakat banyak waktu itu. Yang tersisa hanya selembar permadani indah. Umar pun memintanya. "Bagaimana pendapat kalian, jika permadani ini aku bawa pulang ke rumahku?" Gembira bercampur kaget, para sahabat tergopoh-gopoh menyetujuinya. "Tentu saja wahai Amirul Mukminin, kami setuju sekali Anda membawanya pulang."

Ketika tiba waktu Ashar, Umar membawa kembali permadani tersebut. Kali ini, permadani itu sudah dipotong-potong menjadi bagian kecil-kecil, dan Umar membagikan kepada beberapa sahabatnya. Dengan senyum, Umar berkata, "Hampir saja saya tergoda oleh permadani indah ini." Masya Allah, begitulah Umar, sang kepala negara.
Baca selengkapnya ... Pesantren Al-Urwatul Wutsqo Indramayu: Mei 2011

Budaya Malu

Ketika Abu Qilabah keluar untuk sholat berjamaah, bertemu dengan Umar bin Abd Al Aziz yang juga sedang menuju masjid untuk jama’ah sholat ashar. Beliau kelihatan membawa secarik kertas, maka Abu Qilabah bertanya: Wahai Amirul mukminin, geranga kertas apakah ini ?Beliau menjawab ini adalah secarik kertas berisi sebuah hadits yang aku riwayatkan dari Aun bin Abdillah. Aku tertarik sekali dengan hadits ini maka aku tulis dalam secarik kertas ini dan sering aku bawa. Abu Qulabah berkata; ternyata di dalamnya tertera sebuah hadits sbb. “Diriwayatkan dari Aun bin Abdillah, ia berkata: Aku berkata kepada Umar bin Abdil Aziz bahwa aku telah meriwayatkan hadits dari seorang sahabat nabi saw yang kemudian diketahuinya oleh Umar. Aku berkata, ia telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Sesungguhnya rasa malu, iffah ( menjauhi yang syubhat) , dan diamnya lisan bukanlah diamnya hati, serta pemahaman (agama) adalah termasuk dalam keimanan. Semuanya itu termasuk yang menambah dekat kepada akhirat dan mengurangi keduniaan, dan termasuk apa-apa yang lebih banyak menambah keakhiratan.Tapi Sebaliknya, Sesungguhnya ucapan jorok, perangai kasar dan kekikiran termasuk dalam kenifakan (prilaku kemunafikan) dan semuanya itu menambah dekat dengan dunia dan mengurangi keakhiratan serta lebih banyak merugikan akhirat.
(Sunan Ad Darami)

Kejadian di atas menunjukkan betapa besar perhatian Umar bin Abdil Aziz terhadap masalah yang mendorongnya untuk meningkatkan masalah keakhiratannya. Hadits tentang rasa malu ini mendapat perhatian khusus sehingga ditulis dalam secarik kertas yang sering dibawa kemana-mana. sampai waktu berangkat sholat jamaahpun dibawa pula. Di antara isi dari inti hadits ini bahwa rasa malu adalah sebagian dari iman dan bisa menambah urusan keakhiratannya..

Definisi rasa malu

Ketika seorang mau melanggar aturan agama misalnya, maka ia merasakan dalam dirinya sesuatu yang tidak enak, merasa malu ataupun rasa takut. Karena pelanggaran agama atau menentang disiplin bertentangan dengan fitrahnya sehingga menimbulkan rasa malu. Seorang yang ingin mencuri kemudian tidak jadi mencuri, karena dalam dirinya masih ada rasa malu. Namun bila rasa malu ini dikikis terus dengan pelanggaran maka hilanglah rasa malunya dan akhirnya menjadi orang yang memalukan, contohnya seorang wanita yang berpakaian ketat, pada awalnya ada rasa malu yang kemudian lama kelamaan menjadi hilang rasa malunya.

Keutamaan rasa malu:

1. Rasa malu adalah penghalang manusia dari perbuatan dosa

Rasa malu adalah pangkal semua kebaikan dalam kehidupan ini, sehingga kedudukannya dalam seluruh sifat keutamaan adalah bagaikan kepala dengan badan. Maksudnya, tanpa rasa malu maka sifat keutamaan lain akan mati. Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Rasa malu tidak mendatangkan selain kebaikan.
Busyair bin Ka’b berkata: Dalam kata-kata bijak tertera :”Sesungguhnya rasa malu memiliki keagungan dan dalam rasa malu terdapat ketenangan” ( HR Bukhori dan Muslim)

2. Rasa malu merupakan salah satu cabang dari iman dan indicator nilai keimanan seseorang

Rasa malu adalah cabang dari iman. Seabagaimana Rasulullah saw menyatakan: “Iman terdiri dari enam puluh cabang lebih dan rasa malu sebagian cabang dari iman ( HR Bukhori)

Rasulullah saw melewati seorang anshor yang sedang menasehati saudaranya tentang rasa malu, maka Rasulullah bersabda: “ Biarkanlah ia memiliki rasa malu karena malu itu termasuk dalam keimanan”
(Bukhori dan Muslim)

Bahkan lebih dari itu, dalam hadits lain dinyatakan: “iman dan rasa malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Bila rasa malu tidak ada maka imanpun akan sirna”( HR Al Hakim)

3. Rasa malu adalah inti akhlak islami

Anas r.a. meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah rasa malu”.

Diriwayatkan dari Ya’la bahwa Rasulullah saw melihat seorang mandi di tanah lapang, maka Rasulullah seketika naik mimbar dan setelah memuji Allah beliau bersabda : “sesungguhnya Allah adalah Maha Malu yang suka menutupi ‘aib yang mencintai rasa malu. Jika salah seorang dari kamu mandi hendaklah ia mandi di tempat tertutup.

4. Rasa malu adalah benteng akhir keislaman seseorang

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa nabi saw telah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza Wajalla apabila hendak menghancurkan seorang hamba menarik darinya rasa malu, apabila rasa malu telah dicopot maka tidaklah kau jimpai dia kecuali dlam keadaan tercela dan dibenci, Bila sudah tercela dan dibenci maka akan dicopot darinya sifat amanah. Apabila sifat aamanah telah tercopot maka tidak kau jumpai dia kecuali menjadi seorang yang pengkhianat, bila sudah menjadi pengkhianat maka dicopot darinya sifat kasih sayang. Bila sifat kasih sayang telah dicopot darinya maka tidak kau jumpai dia kecuali dalam keadaan terlaknat dan bila dalam keadaan terlaknat maka akan dicopotlah ikatan islam darinya.

5. rasa malu merupakan akhlak yang sejalan dengan fitrah manusia

Rasa malu sebagai hiasan semua perbuatan. Dalam hadits yang diriwayatkan Anas r.a. bahwa rasulullah saw telah bersabda: “Tidaklah ada suatu kekejian pada sesuatu perbuatan kecuali akan menjadinya tercela dan tidaklah ada suatu rasa malu pada sesuatu perbuatan kecuali akan menghiasinya.
(Musnad Ahmad)

Diriwayatkan dari Ibnu abbas r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda pada Al Asyaj al ‘Asry ; “Sesungguhnya dalamdirinmu terdapat dua sifat yang dicintai Allah yaitu kesabaran dan rasa malu.
( Musnad ahmad)

Diriwayatkan dari anas r.a. ia berkata: Rasulullah telah bersabda; Orang yang paling kasih sayang dari umatku adalah Abu Bakar r.a, orang yang paling tegas dalam masalah agama dri umatku adalah Umar r.a Orang yang paling merasa malu adalah Utsman r.a. Orang yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal. Orang yang paling mengerti tentang Al quran adalah Ubay r.a. Orang yang paling mengetahui tentang faroidl adalah Zaid bin Tsabit. Setiap umat memiliki orang keperayaan dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah Ibn al jarroh.
(Musnad Ahmad)

Al Fudleil bin ‘iyadh menyatakan: Ketika manusia sudah tidak memiliki rasa malu lagi maka tidak ada bedanya dengan bianatang.


Karakteristik rasa malu

Diriwayatkan dari abdillah ibni Mas’ud r.a. ia berkata, Rasulullah telah bersabda pada suatu hari : “Milikilah rasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.! Kami (para sahabat) berkata: Wahai rasulullah sesungguhnya kami alhamdulillah telah memiliki rasa malu. Rasulullah bersabda: “ Bukan sekedar itu akan tetapi barangsiapa yang mealu dari allah dengan sesungguhnya, hendaknya menjaga kepalanya dan apa yang ada di dalamnya, hendaknya ia menjaga peruta dan aapa yang didalamnya, hendaknya ia mengingat mati dan hari kehancuran. Dan barangsiapa menginginkan akhirat ia akan meninggalkan hiasan dunia . Barangisapa yang mengerjakan itu semua berarti ia telah merasa malu kepada allah dengan sesungguhnya.
(Musnad Ahmad)


Dalam hadits di atas kita dapat menarik empat karakteristik rasa malu yang sebenarnya yaitu:
1. Menjaga kepala dan sekitarnya
2. Menjaga perut dan segala isinya
3. Mengingat mati dan hari kehancuran
4. Menjadikan akhirat sebagai tujuan akhir.

Berikut ini penjelasan empat karakteristik rasa malu yang sebenarnya:
1. Menjaga kepala dan sekitarnya.

Yang dimaksud dengan menjaga kepala dan sekitaranya adalah sbb.
a. Menjaga indera penglihatannya agar jangan sampai melihat kepada yang haram, mencari-cari kesalahan orang lain dan hal-hal lain yang diharamkan Allah swt. Yang termasuk menjaga indera penglihatan adalah menggunakannya untuk membaca Alquran, mempelajari lmu, merenungi alam semesta dan bersengan-sengan dengan memandang yang halal.
b. Menjaga indera pendengaran dengan menggunakannya untuk mendengarkan bacaan Al Quran, mendengarkan pengajian dan menjauhi mendengarkan ghibah, namimah dsb
c. Menjaga lisan dengan mempergunakannya untuk dzikrullah, memberi nasehat, menyampaikan dakwah dan menjauhi segala ucapa yang diharamkan seperti adudomba, mengumpat, menghina orang lain dsb.
d. Menjaga mulut dengan membiasakan menggunakan siwak, memasukkan makanan yang halal dan menjauhi makanan yang haram. Menjauhi tertawa berlebihan dst.
e. Menjaga muka dengan membiasakan bermuka manis, tersenyum dan ceria setiap ketemu kawan.
f. Menjaga akal dengan menjauhi pemikiran yang sesat seperti pemikiran muktazilah, sekuler, islam liberal dsb.

2. Menjaga perut dan seisinya

Yang dimaksud dengan menjaga perut seisinya adalah:
a. Menjaga hati dengan menanamkan keikhlasan dan melakukan muhasabah serta menjauhi penyakit hati seperti riya’, ujub, sombong, kufur, syirik dsb.
b. Menjaga saluran pernafasan dengan tidak merusak saluran pernafasan seperti meokok dsb.
c. Menjaga kemaluan dengan menjauhi apa-apa yang diharamkan Allah seperti perzinahan dsb.
d. Menjaga saluran pencernaan dengan henya memasukkan makanan dan minuman yang halal saja.

3. Mengingat mati dan hari kiamat.

Mengingat mati akan membawa kita kepada upaya untuk meningkatkan ketakwaan . Kematian cukuplah bagi kita sebagai nasihat agar kita taubat dan kembali kepada Allah. Orang yang berbahagia adalah orang yang senantiasa melupakan kebaikan, mengingat dosa, mengingat kematian, melihat orang yang lebih rendah di bidang dunia dan melihat orang yang lebih baik dalam bidang akhirat. Orang yang mengingat kematian akan terdorong untuk menyiapkan bekal menuju akhirat dan melu melanggar larangan Allah

4. Menjadikan akhirat sebagi tujuan akhir.

Assindi mengatakan dalam syarah Sunan Ibni Majah sbb: Pengertian hadits “ Bila kamu tdiak memiliki rasa malu maka berbuatlah semaumu” adalah bahwa rasa malu itu merupakan benteng manusia dari perbuatan buruk. Orang yang memeiliki rasa malu terhadap Allah akan menghalanginya dari pelanggaran agama. Orang yang malu terhadap manusia akan menjauhi semua tardisi jelek manusia. Bila rasa malu ini hilang dari seseorang maka ia tidak peduli lagi terhadap perbuatan dan ucapannya. Perintah dalam hadits ini memiliki makna pemberitahuan yang intinya bahwa setiap orang harus melihat perbuatannya. Bila perbuatan itu tidak menimbulkan rasa malu maka hendaknya ia melakukannya bila sebaliknya ia harus meninggalkannya. (Sunan Ibni Majah syarh Sindi)

Bangsa Indonesia yang sudah tidak lagi memiliki budaya malu, harus kembali melaksanakan empat anjuran Rasulullah secara massif demi menuju kebangkitan menggapai kegemilangan di masa mendatang.
Baca selengkapnya ... Pesantren Al-Urwatul Wutsqo Indramayu: Mei 2011

Popular

WUTSQO Galery